Chaos

Pernah dengar teori chaos? Aku pernah. Dan sampai sekarang belum pernah mencoba mendalaminya. Ketika tatanan terganggu, maka semuanya runtuh menjadi abu. Benar nggak sih itu chaos? Entahlah benar atau nggak, abaikan saja judul tulisan ini.

Kadang aku mengalami saat-saat dimana bak satu roda gigi terganggu putarannya. Seluruh mesin berkeriut, bergetar, melengking. Sampai akhirnya mencelat. Seluruh sistem menjadi kacau. Tak ada lagi detak jam yang teratur. Semuanya berhenti.

Tentu tak seperti jam yang dapat sejenak berhenti. Jam digantikan alat lain. Banyak jam lain tersedia, di handphone, di laptop, di dinding. Kadang ku tak punya pilihan, selain menggerakkan roda-roda kacau itu, sambil menekan di sana-sini agar bisa tetap bertahan. Agar dapat menghantarkan jarum-jarum itu. Harapannya tepat waktu.

Maka tak lagi ada harapan, kecuali menyeru. Berharap setitik asa, yang kutahu itu ada.

Amanat

Terkadang diriku sampai ke titik seperti ini. Rasanya pekerjaan itu tanpa akhir. Kucoba kerjakan satu, berharap dapat selesai dengan cepat. Eh, ternyata tidak selesai pula. Terseok-seok kukerjakan.

Terkadang, kuberfikir, bisakah kuakhiri saja?

Tak bisa. Bukan masalah denda yang akan ada, bukan pula yang lain. Ini amanat. Betulkah amanat? IA tak akan membebani orang lebih dari kemampuan. Aku percaya itu. Aku ingin selalu percaya itu setiap saat. Juga pada saat-saat seperti ini, dimana kuragu akan kemampuanku sendiri.

Akankah bisa?

Jika ini gowes, bukit tinggi pun kudaki. Langkah demi langkah kujejakkan kaki. Ya, tak selamanya sepeda bisa kugowes. Terkadang perlu dituntun. Tapi di sana tak ada batasan waktu. Hanya ada aku, sepeda dan bukit. Pun jika waktu telah berlalu lama, kudapat berhenti. Belok kanan, kanan lagi, untuk kembali.

Namun amanat tak seperti bukit. Cedera amanat itu berat.

Oh andaikan di awal tak kuterima amanat itu. Saat masih ada pilihan. Saat masih ada kesempatan untuk belok kanan, kanan lagi.