Pak Jalal and Freedom of Thought

Last week, I got a message on my family’s WA Group. Pak Jalal was in critical condition. Several days before, his wife had become a victim of ongoing pandemics. Pak Jalal was in ICU.

Almost 21 years ago, I started my life-changing high school life. After long discussion with my parents, I entered SMU (Plus) Muthahhari. Pak Jalal is the chief and founder of Muthahhari foundation. Later on, during my last 1,5 years there, Pak Jalal became headmaster of the high school, again, after a big protest from students resulted in last headmaster’s departure.

There are many life-changing moments during my high-school years, one of the most impactful was the religious study. Because SMU Muthahhari (we often shorten the name into “Smuth”) is an Islamic school, there were many additional courses compared to standard high-school curricula, such as Arabic Language, Dirasah Islamiyah (Ulum Al-Qur’an, Ulum Al-Hadits, etc.), Spiritual Work Camp, etc. However, they all had a common message, and this was reflected in how the standard Islamic Religion course (Pelajaran Agama) was and still conducted in Smuth.

During my elementary and junior high, Islamic Religion classes were mostly one way, we learned from our teachers about Islamic religion aqidah, practices, etc. And the standard high school curriculum for Islamic Religion was also like that. But Smuth’s was different. From day one, the Islamic Religion classes focuses on Debates. Yes, religious debates. Each week, the teacher (Ust. Dede) assigned a topic, and we were assigned to two or three different groups. Each group would represent a distinct thought on the topic.

Then as our homework, we should do research on the topic (mainly in the school’s library). In the next Islamic Religion class, the debate will take place. This process made me realize that there are really many perspective that one can take on a problem. Maybe several thought are based on the same perspective, religious perspective, but the resulting conclusion can be very different. By doing the research ourselves, we were exposed to many books, article and writings of many. By debating the result, we were trained to see the logic in each approach, the strength and weakness of them.

This is only the first one of the principle underlined by our schools’ principal, Pak Jalal: freedom of thought.

(to be continued…)

Ustadz Sejuk dan Ustadz Keras?

Kemarin saya mendapat kiriman WA di suatu grup. Judulnya “Tabayyun – Salah Paham Mereka Terhadap HRS, UAS dan Ulama Garis Keras yang Melarang Berbuat Nahi Mungkar”. Seperti sebagian dari banyak narasi lainnya yang sering berkelebat belakangan ini, saya melihat narasi ini mengarahkan menggolongkan semua dalam kategori “Ulama”. Dan terakhir ditekankan bahwa Ulama adalah Warosatul Anbiya’ (pewaris Para Nabi).

Benarkah semua yang mengaku Ulama’, atau semua yang dianggap Ulama oleh segelintir orang bisa disebut Warosatul Anbiya’? Saya pribadi memahami riwayat/tradisi tersebut secara terbalik: Seseorang yang dapat dianggap Ulama harus mewarisi ilmu, sifat dan akhlak Nabi. Setidaknya, mereka selalu berusaha menuju ke sana, dan sudah jauh lebih di depan daripada kita-kita yang mengikutinya. Silahkan dibandingkan dengan bagaimana sikap Nabi Muhammad saw, Nabi Isa as, Nabi Ibrahim as, Nabi Yusuf as, Nabi Musa as, dsb. Kelompok yang membawa narasi di atas sering menunjukkan Futuh Makkah untuk melegitimasi sikap mereka; padahal konteks Futuh Makkah sangat berbeda dengan yang mereka lakukan! Bagaimana Futuh Makkah merupakan akhir dari kejadian-kejadian, perang-perang sebelumnya, proses diplomasi dan perjanjian Hudaibiyah. Lebih lagi, kenyataan bahwa Rasulullah saw mengampuni dan memberi perlindungan kepada penduduk Makkah yang sebelumnya mencaci, menghina dan bahkan menyerang Nabi saw!

Kalau diperhatikan lebih lanjut, pesan-pesan WA seperti yang saya sebut di atas secara konsisten membawa narasi-narasi tertentu. Kalau sekarang selalu terselip pesan politik, seperti “Ulama-ulama Sejuk biasanya juga akan disukai oleh Penguasa”. Seharusnya kita semua belajar sejarah: tidak ada hubungannya antara sejuk dan Penguasa. Yang ada: jika ulama tersebut sesuai pandangannya dengan Penguasa, akan disukai. Jika berbeda atau bertentangan, ya tidak disukai. Dari mulai masa awal setelah Nabi. Imam Al-Hasan bin Ali ra. terkenal sebagai orang yang berperilaku lemah-lembut. Namun tidak disukai penguasa waktu itu, Mu’awiyah. Jangan jauh-jauh deh, sekarang lihat saja di negara-negara lain (supaya kita lebih objektif). Nah, polanya kelihatan ‘kan? yang sesuai dengan penguasa ya disukai.

“Karena Penguasa dan Kekuasaan sangat identik dengan kezaliman dan orang-orang zalim.”. Nah ketahuan deh kalau WA tersebut sebetulnya orientasinya politik saat ini…

Happiness Is A Bliss

Happiness is small things given good context.
Or, good context framing small things?

A child that runs to the toilet;
An aching rightmost tooth;
Black, dirty water rushing through a tap;
A bag of snacks taking up car trunk.

Without context, they can be bad things;
Or, we give them the context,
They become happiness:
Everything God has given us?

Hati yang Tenang

Wahai jiwa yang tenang (QS Al-Fajr:27)

Ketenangan jiwa adalah dambaan tiap orang. Tapi rasanya susah bagi diri ini untuk mencapai itu. Kadang diri mencoba tenang. Perasaan cemas tanpa mengetuk pintu, datang menyeruak.

Ada riwayat dari Imam Ja’far bahwa ayat-ayat terakhir surat Al-Fajr ini, mulai dari ayat ke 27 ini adalah tentang Imam Husain a.s. Mumpung baru dua hari setelah Asyura tahun ini.

Aku selalu terkenang dengan kisah Imam Husain a.s. pada hari sebelum dan pada malam Asyura. Pasukan Umar bin Sa’ad sudah akan menyerang pada tanggal 9. Imam Husain a.s. meminta penundaan satu hari untuk dapat beribadah kepada Allah SWT di malam harinya. Akhirnya pasukan musuh setuju, dengan niat akan membunuh Imam Husain a.s. jika pada esok harinya tetap tidak mau berbai’at/menyerahkan diri kepada Yazid bin Mu’awiyah.

Duhai, betapa tenangnya diri Al-Husain a.s, sahabat dan keluarganya. Ancaman kematian di depan mata, tekanan dari pasukan musuh di sekeliling. Semua itu tak berpengaruh bagi mereka, mereka tetap lakukan hal yang dicinta: bermunajat kepada-Nya.

Apakah ketenangan jiwa itu, keterlepasan dari kecintaan kepada dunia ini? Kudengar pendapat ayahku: takut mati menghalangi orang-orang untuk membantu Al-Husain a.s, dan cinta dunia mendorong orang-orang untuk memerangi Al-Husain a.s di Karbala. Kupahami ini dalam konteks orang-orang Kufah, yang berada di sekitar Karbala.

Cinta dunia adalah kepala dari semua keburukan. Ungkapan ini (saya terlupa ini hadis dari riwayat mana) kuingat. Implementasinya setengah mati. Tak terbendung kata-kata keluar dari mulut, terselip kebohongan kecil, untuk menjaga image kah? Untuk apa?

Mari kita kembali ke Al-Husain a.s dan sahabatnya. Yang pada Dzuhur Hari Asyura hentikan penyerangan. Untuk shalat Dzuhur pada waktunya. Di tengah hujan panah.

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu, ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS Al-Fajr: 27-30)

Log Pose

Thread by @ykarps: "One Piece Readthrough Thread 2: Alabasta or ...

Aku teringat salah satu hal utama di One Piece, adanya log pose di Grand Line. Jadi, ketika masuk ke Grand Line dari East / West / North / South Blue, semua harus menggunaan Log Pose. Semua tujuannya satu: Raftel. Dan tidak ada pilihan rute. Semuanya dipilihkan oleh medan magnet aneh yang ada di sana. Dan diikuti dengan kompas yang namanya Log Pose.

Luffy dkk mengambil satu jalur yang diikuti dengan patuh. Semua tantangan dan masalah yang ada di jalur itu satu demi satu dijalani dan diselesaikan sekuat mungkin. Salah satunya ketika Log Pose menunjuk ke atas, ke Skypiea.

Mungkin itu pengandaian terhadap dunia ini juga. Setiap orang punya jalan masing-masing. Tujuannya satu. Tiap maju satu langkah dalam kehidupan, kita akan diberikan tantangan, masalah. Semuanya ujian. Ada pilihan yang bisa diambil, dan akan menentukan kehidupan setelahnya. Seperti Luffy dan kawan-kawan, mari kita hadapi dan jalani, apa yang telah IA persiapkan untuk kita masing-masing.

Skypiea

Sebuah saran video di YouTube menarikku untuk mengklik dirinya. Scene-scene terlucu di arc Skypiea dari anime one Piece. Membuatku bernostalgia..

Bagiku, Skypiea adalah puncak Eiichiro Oda sebagai pengarang komik. Puncak drama antara Seventh Heaven dan Elex Media juga sih. Awal mula Elex punya saingan, dan membuat Elex semakin bagus.

Kembali ke Skypiea. Aku membacanya dari buku komik fisik. Ada yang beli, ada yang pinjam di taman bacaan. Beberapa tahun setelahnya, barulah kutonton animenya.

Apa yang bagus? Alur cerita, dari mulai jaya island sampai selesai Skypiea. Humor-humor terbaik ada di sana. Tidak dipaksakan juga humornya. Gambarnya menurutku puncak gaya penggambaran awal Oda. Sebelum berubah mulai di Water 7. Penggambaran sifat dan karakter anggota kru straw hat juga sangat bagus. Masing-masing punya personality sendiri2 yang berbeda. Berjuang dengan perannya masing-masing. Tidak peduli waktu dilecehkan secara pribadi, tapi peduli terhadap orang lain.

Kemudian, scene-scene epicnya. Mulai dari pukulan ke Bellamy, naik & terbang ke awan. Sampai kelegaan pada saat menyentuh laut di bawah lagi. Seru. Epic banget.

Bersambung . . .

Chaos

Pernah dengar teori chaos? Aku pernah. Dan sampai sekarang belum pernah mencoba mendalaminya. Ketika tatanan terganggu, maka semuanya runtuh menjadi abu. Benar nggak sih itu chaos? Entahlah benar atau nggak, abaikan saja judul tulisan ini.

Kadang aku mengalami saat-saat dimana bak satu roda gigi terganggu putarannya. Seluruh mesin berkeriut, bergetar, melengking. Sampai akhirnya mencelat. Seluruh sistem menjadi kacau. Tak ada lagi detak jam yang teratur. Semuanya berhenti.

Tentu tak seperti jam yang dapat sejenak berhenti. Jam digantikan alat lain. Banyak jam lain tersedia, di handphone, di laptop, di dinding. Kadang ku tak punya pilihan, selain menggerakkan roda-roda kacau itu, sambil menekan di sana-sini agar bisa tetap bertahan. Agar dapat menghantarkan jarum-jarum itu. Harapannya tepat waktu.

Maka tak lagi ada harapan, kecuali menyeru. Berharap setitik asa, yang kutahu itu ada.

Amanat

Terkadang diriku sampai ke titik seperti ini. Rasanya pekerjaan itu tanpa akhir. Kucoba kerjakan satu, berharap dapat selesai dengan cepat. Eh, ternyata tidak selesai pula. Terseok-seok kukerjakan.

Terkadang, kuberfikir, bisakah kuakhiri saja?

Tak bisa. Bukan masalah denda yang akan ada, bukan pula yang lain. Ini amanat. Betulkah amanat? IA tak akan membebani orang lebih dari kemampuan. Aku percaya itu. Aku ingin selalu percaya itu setiap saat. Juga pada saat-saat seperti ini, dimana kuragu akan kemampuanku sendiri.

Akankah bisa?

Jika ini gowes, bukit tinggi pun kudaki. Langkah demi langkah kujejakkan kaki. Ya, tak selamanya sepeda bisa kugowes. Terkadang perlu dituntun. Tapi di sana tak ada batasan waktu. Hanya ada aku, sepeda dan bukit. Pun jika waktu telah berlalu lama, kudapat berhenti. Belok kanan, kanan lagi, untuk kembali.

Namun amanat tak seperti bukit. Cedera amanat itu berat.

Oh andaikan di awal tak kuterima amanat itu. Saat masih ada pilihan. Saat masih ada kesempatan untuk belok kanan, kanan lagi.

Mulai Belajar NLP

NLP atau natural language processing adalah pemrosesan bahasa manusia oleh komputer. Saya baru belakangan ini mempelajari lebih lanjut tentang hal ini, sebelumnya hanya “menyentuh” dari mata kuliah STBI (Sistem Temu-Balik Informasi/information retrieval system) zaman kuliah S1. Atau dalam matakuliah AI (Artificial Intelligence).

Baru kemarin-kemarin aku mulai lihat-lihat buku NLP With Python. Mulai dari statistik dasar yang dilakukan terhadap teks. Dari situ akhirnya nyambung juga dengan stop words yang kudapatkan waktu mempelajari information retrieval. Dulu hanya pakai saja, walaupun tahu prinsipnya untuk information retrieval: kata-kata yang sering muncul di seluruh teks kurang berarti dalam mencari teks yang sesuai, karena terlalu umum. Dalam sudut pandang NLP, tergantung konteksnya.

Jalan masih panjang nih. Semangat!

Jalan Tengah

Sering kudengar, Islam yang benar adalah yang mengambil jalan tengah. Tidak ekstrim kanan, tidak pula ekstrim kirim di tengah-tengah.

Entah mengapa, manusia, kita ini punya kecenderungan untuk mengambil jalan ekstrim. Misalnya saja, kapitalisme. Selalu ada saja dorongan untuk deregulasi penuh, untuk menjadi kapitalisme murni.

Untungnya banyak juga yang sudah sadar bahwa jalan tengah itu seringkali terbaik. Kapitalisme perlu dikontrol dengan regulasi, sehingga ada kesetaraan. Ada keteraturan. Bukan hukum rimba saja, dimana pemilik modal berkuasa penuh. Bahkan rule-of-the-game pun diatur mereka..

_(bersambung)_